start up yang gagal

Startup yang Gagal Bertahan di Masa Pandemi

Pandemi corona memukul banyak sektor ekonomi, termasuk startup. Perekonomian yang tertekan, membuat daya beli masyarakat menurun. Konsumen cenderung memilih layanan yang diperlukan saja atau essential goods. Terjadinya penurunan Demand yang cukup drastis di banyak hal, disebabkan karena adanya kompetisi, karena tidak memiliki model bisnis yang tepat dan kemampuan adaptasi dalam menyikapi tuntutan masyarakat, serta karena bisnis gagal mengelola keuangan. Karena tidak semua startup akan bertahan meski di sektor yang diuntungkan oleh adanya pandemi. Pengeluaran promosi yang besar atau ‘bakar uang’ juga akan mempengaruhi daya tahan startup di tengah pandemi.  Kemudian untuk bisa bertahan ditentukan juga oleh user experience dan ketersediaan barang.

Baca juga : Rekomendasi Bisnis Online Tanpa Modal di Masa Pandemi

Pengertian Startup

Startup merupakan perusahaan yang baru masuk atau masih berada pada fase pengembangan atau penelitian untuk terus menemukan pasar maupun mengembangkan produknya. Kata Startup berasal dari serapan dari Bahasa Inggris yang berarti bisnis yang baru saja dirintis atau bisnis rintisan. Singkatnya Startup adalah perusahaan rintisan yang belum lama beroperasi. Awalnya, Startup disebut semua bisnis yang baru saja berjalan. Namun saat ini, definisi Startup adalah sebuah usaha yang baru berjalan dan menerapkan inovasi teknologi untuk menjalankan core business-nya & memecahkan sebuah masalah di masyarakat. Sehingga memiliki sifat ‘disruptive’ didalam sebuah pasar / industri yang sudah ada atau bahkan menciptakan sebuah industri baru. Saat ini, istilah perusahaan startup biasanya mengacu pada perusahaan-perusahaan yang layanan atau produknya berbasiskan teknologi.

Perusahaan rintisan (startup) digital diprediksi belum sepenuhnya kebal dari pandemi Covid-19. Pada 2021 masih ada bisnis startup yang berpotensi menutup layanan atau bangkrut. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Katadata, menuliskan bahwa di Indonesia hanya ada sebanyak 48,9 persen startup yang sanggup bertahan hingga 2021. Bahkan, demi memperpanjang umur perusahaan, hampir seluruh startup digital telah melakukan perubahan pada strategi bisnis mereka di mana 35 persen startup mengurangi gaji karyawan dan 12 persen di antaranya mengurangi gaji karyawan hingga lebih dari 50 persen. Sementara itu, pada 2020 sejumlah perusahaan rintisan, satu persatu mulai berguguran, menutup layanan mereka secara permanen.  Setidaknya ada lima perusahaan rintisan yang menutup layanannya di masa pandemi. Kelima startup tersebut di antaranya Sorabel, Eatsy, Stoqo, Hooq, dan Airy Rooms. Selain itu, perusahaan sejenis Hooq yakni iFlix mengalami kesulitan dari sisi keuangan di tengah pandemi Covid-19. Padahal, layanan Video on Demand (VoD) diminati selama pandemi virus corona. Begitu juga dengan aplikasi pemesanan makanan seperti yang disediakan Eatsy.

pada tahun ini semua sektor pun juga masih menghadapi persoalan yang sama karena pandemi belum usai dan bahkan belum terkendali. Strategi dan antisipasi yang perlu dilakukan saat ini adalah terus melakukan adaptasi bisnis, seperti pivot dan melakukan diversifikasi usaha ke industri 4.0. Para pelaku bisnis juga harus berpartisipasi dengan menggandeng sektor lain dan merekrut talenta-talenta digital yang dibutuhkan untuk mendorong efektivitas perusahaan. Saat ini, sektor yang masih terancam yaitu dari travelling, akomodasi, dan startup baru yang harus bersaing dengan layanan GoTo khususnya transportasi daring, pengiriman makanan, e-commerce, atau e-payment. Berikut beberapa perusahaan yang gagal bertahan di masa pandemi:

Baca juga : Tips Membuat Konsumen Terpikat Dengan Produk yang Ditawarkan

Startup Gagal di Masa Pandemi

  1. Sorabel (Juli 2020)

sorabel

Sebenarnya, E-Commerce merupakan sektor yang paling menuai berkah dari wabah ini. Terdapat survei yang mengatakan, sekitar 30% konsumen Indonesia lebih sering melakukan belanja online. Misalnya Shopee, yang menjadi e-commerce yang meraup keuntungan besar dengan menghimpun sebanyak 260 juta transaksi di kuartal kedua tahun ini. Direktur Shopee Indonesia mengklaim angka ini meningkat pesat 130% dibandingkan tahun lalu. Namun, meski sama-sama online shop, Sorabel tidak memiliki nasib yang sama baiknya, dimana startup ini resmi bangkrut pada 30 Juli lalu.

Co-Founder dan CEO Sorabel mengatakan, seiring pandemi melanda, cadangan kas perusahaan habis meski sudah mendapatkan beberapa tawaran investasi. Namun, calon investor asing tidak bisa terbang ke Indonesia untuk memverifikasi operasional fisik startup tersebut. Covid-19 menyerang pada titik paling rentan dalam strategi pendanaan dan menghancurkan basis pelanggan inti. Maka dari itu, investasi menjadi pemicu lain yang membuat gugurnya startup, karena investasi merupakan nyawa startup, dimana startup ditentukan oleh suntikan dana dari investor. Selain itu, Sorabel juga mengandalkan kehadiran toko offline sebagai sumber trafik online. Sementara pandemi ini membuat pabrik hingga toko-toko fisik berhenti beroperasi. Mengutip riset Facebook dan Bain & Company, berbeda dengan bahan makanan segar dan makanan jadi yang menjadi primadona saat ini, ritel, termasuk fesyen, butuh waktu yang tak sedikit untuk bisa kembali bangkit.

  1. Airy Room (Mei 2020)

Airy Room

Airy room telah lebih dulu memecat lebih dari 70% karyawan demi mempertahankan bisnis di tengah krisis pandemi Covid-19. Startup perhotelan afiliasi Traveloka ini resmi hengkang dari Indonesia pada akhir Mei lalu. Mengutip dari karyawan Airy yang bersaksi, pihaknya menghadapi krisis akibat banyaknya permintaan pengembalian uang pemesanan kamar dan penerbangan pascapandemi corona menghantam industri perjalanan. Menghadapi situasi yang sama, Traveloka juga telah memecat ratusan karyawan. Bahkan, sejumlah eksekutif pun ikut mundur seperti Kepala Teknologi, Kepala Investasi dan Kepala Bisnis Singapura dan Malaysia.

Startup semacam Airy dan Traveloka paling babak belur dihajar Covid-19, karena model bisnisnya melibatkan banyak aktivitas fisik. Dimana digital itu sendiri bergantung dengan bisnisnya. Meskipun sudah membagi digital menjadi low-touch dan high-touch. Startup yang bergerak di high-touch seperti Traveloka, digitalnya look-book-pay. Justru core aktivitasnya yaitu interaksi secara fisik. Ketika itu jatuh, maka look-book-pay-nya jatuh. Meski sudah diberlakukan mulai Juni lalu, PSBB transisi tak lantas mampu mengerek okupansi hotel.

Baca juga : Alasan Perusahaan Besar Banyak yang Menggunakan WordPress

  1. Stoqo (April 2020)

stoqo

Stoqo merupakan startup penyedia bahan baku bisnis kuliner, menutup layanannya tak lama usai Covid-19 mewabah di Indonesia, tepatnya akhir April lalu. Co-founder Stoqo, sempat menyatakan bisnisnya meningkat tujuh kali lipat tahun lalu serta sudah melayani puluhan ribu pengguna di area Jabodetabek. Startup agritech ini bahkan baru-baru ini berencana untuk melakukan ekspansi dengan membuat pusat distribusi di luar Pulau Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Dimana perusahaan sudah memiliki lima pusat distribusi di Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Bogor. Namun, kelesuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat pendapatannya merosot drastis sehingga terpaksa tutup layanan.

  1. Easty

Eatsy menjadi startup yang pertama berhenti beroperasi di Indonesia saat terjadi pandemi Covid-19, yaitu pada awal April lalu melalui aplikasinya. Perusahaan asal Singapura ini mengklaim wabah virus corona telah membawa efek tersendiri pada berbagai lini bisnis, termasuk Eatsy. Di sisi lain, sang rival, Go-Food menyatakan layanannya masih bergeliat berkat strategi penyesuaian yang dijalankan. Semenjak pandemi, Pasar Mitra Tani, penjual bahan pangan pokok bergabung ke dalam platformnya.

  1. Hooq

hooq

Kebangkrutan Hooq pada 30 April lalu cukup mengejutkan. Karena, bisnis video streaming saat ini sedang naik daun, dimana banyak orang menghilangkan kejenuhannya selama PSBB dan PPKM dengan menikmati konten video atau film. Sebulan sebelum gugur, Hooq mengajukan likuidasi karena tak dapat menghasilkan pendapatan yang berkelanjutan dan tak dapat menutup biaya operasional yang terus meningkat. Dalam pernyataan resminya, Hooq mengatakan bahwa sejak perusahaan berdiri lima tahun lalu, terjadi perubahan struktural siginifikan di pasar video over-the-top (OTT) dan lanskap kompetisinya. Tingginya biaya konten dan keengganan konsumen untuk membayar juga menjadi alasan di balik kesulitan Hooq di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Para pesaingnya, seperti Youtube dan Netflix malah menjadi primadona.

Menanggapi startup yang berhenti saat pasarnya berkembang pesat, akan terasa aneh. Dimana seharusnya bisnis-bisnis low-touch, apalagi home-entertainment, harusnya bisa meraup untung. Karena saat ini orang lebih banyak di rumah, dan konsumsi online streaming meningkat. Hal ini bisa saja terjadi karena kesalahan pada manajemen internal, seperti pada marketing-nya, operation-nya, mungkin masalah di kapitalnya, dan tidak adanya suntikan dana dari investor. Secara umum, bisnis-bisnis yang sedang tren, mestinya lebih survive. Namun, jika sebaliknya, startup itu bangkrut karena tergerus persaingan bisnis. Dimana kompetitor lebih  cepat grab opportunity nya, sementara Hooq tidak improve, atau tidak bisa memanfaatkan peluang pasar.

Baca juga : Rekomendasi Pekerjaan Freelance Yang Menjanjikan Di Masa Pandemi

  1. Gojek

gojek

Wabah ini bisa membuat kenaikan permintaan atau malah penurunan di sektor bisnis startup tertentu, salah satunya yaitu Gojek. Kebijakan social distancing dan PPKM darurat di beberapa daerah, membuat kegiatan masyarakat terbatas. Dimana para karyawan hingga para pelajar harus melakukan aktivitas dari rumah, yang membuat bisnis ride-hailing atau transportasi online lesu. Gojek menutup layanan GoLife dan GoFood Festival pada bulan lalu. Namun, decacorn Tanah Air ini masih beroperasi dan bahkan mendapatkan pendanaan pada awal 2020.
Perusahaan penyedia layanan on-demand itu juga meluncurkan layanan baru seperti GoServices.

  1. Online Travel Agency

traveloka

Aplikasi yang kurang beruntung adalah online travel agency seperti Traveloka. Bisnis ini mengalami penurunan, karena tidak banyaknya orang bepergian selama wabah corona, apalagi dengan adanya larangan mudik ke kampung halaman. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatkan, jika sampai wabah berlanjut hingga lebaran, tahun baru dan libur sekolah atau libur-libur nasionalm lainnya, diperkirakan terjadi penurunan pemudik 30-60% dan layanan startup travel siap merugi.

Maka untuk bertahan di masa pandemi ini, Traveloka membuat inovasi. Misal, membuat kampanye clean partnher untuk membantu sosialisasi protokol kesehatan ke masyarakat. Para mitra Traveloka akan diberikan label clean partner, baik untuk hotel, airline, dan sewa mobil. Pihak platform juga melakukan monitoring penerapan protokol itu sendiri. Dan juga memberikan masker dan handsanitizer seperti di pool mitra bus Traveloka. Atau memberikan pengalaman unik dengan tiga program takin jendela xeru, mesin waktu dan tur virtual.

Baca juga : Manfaat dan Contoh Analisis SWOT Untuk Bisnis Online

Jika Anda pebisnis yang menjual produk/jasa apapun dan ingin meningkatkan penjualan bisnis, maka Anda perlu memiliki situs website toko online untuk mempromosikan produk. Anda dapat membuat website toko online di Jasa Pembuatan Website Toko Online Profesional. Dengan bantuan dari jasa pembuatan website akan membatu anda untuk mewujudkan situs website yang di dambakan.

Terimakasih dan semoga bermanfaat… Salam sukses untuk kita semua ?

Postingan Terkait